SOSIAL,
bicara masalah sosial sepertinya kehidupan sosial di sekitar kita akhir-akhir
ini mulai berubah. Contoh yang paling sederhana pada anak muda zaman sekarang dapat
kita lihat di sekeliling kita sendiri yaitu saat kita sedang kumpul-kumpul dengan
teman. Mari kita cek berapa banyak temen kamu yang sibuk dengan
HP/smartphone/gadget/dll ketika sedang kumpul-kumpul. Tidak sedikit dari kita
yang selalu mengecek smartphone setiap saat padahal tidak ada hal yang begitu
penting. Paling-paling hanya lihat recent update temen-temen di BBM, baca
status atau sekadar nongkrongin timeline di twitter padahal kita sedang kumpul
sama teman-teman kita sendiri. Kita “seolah-olah” sangat sibuk hingga
smartphone sepertinya tak bisa lepas dari genggaman. Hal ini memang terlihat
seperti hanya masalah sepele dan tidak penting. Namun hal ini seharusnya
membuat kita sadar dan prihatin terhadap hal-hal kecil seperti ini. Saat kita
bersama-sama atau kita “kumpul-kumpul” dengan orang secara tidak langsung orang
tersebut juga butuh perhatian dari kita. Kumpul-kumpul itu seharusnya bukan
hanya sekadar kumpul bareng atau rutinitas belakaa namun bagaimana kita
menjadikan waktu bersama-sama tersebut menjadi waktu berkualitas. Dengan begitu
hubungan kita dengan sesama akan menjadi lebih berkualitas juga. Ada seseorang yang menyatakan ide untuk
mengumpulkan semua gadget/smartphone/HP, dll kita di atas meja saat kita sedang
makan bareng atau sekedar “kumpul-kumpul” dan jika ada yang mengambilnya sebelum
acara selesai maka dia akan mendapatkan hukuman yang telah disepakati bersama.
Misal hukumannya adalah membelikan teman-temannya makanan atau yang lain. Hal
ini memang terlihat konyol, tapi ada satu hal yang kita pelajari dari cerita
ini adalah bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap orang-orang disekitar
kita. Sikap ini dapat dilihat melalui bagaimana kita menghargai teman kita saat
kita bersama-sama dengan mereka. Yuk, jadikan waktu bersama kita menjadi lebih
berkualitas. #SalamRespect
PINGUIN GEMBUL
The liberty that you have received is a miracle from God. It's precious. So, try to using well your liberty.
Jumat, 12 Desember 2014
Senin, 08 September 2014
Wisuda
Wisuda
Kuliah bisa dibilang identik
dengan wisuda. Semua mahasiswa pasti menantikan masa itu datang, masa di mana mahasiswa
pakai toga, pakai jubah, foto bersama, masa di mana nama seseorang akhirnya
diimbuhi embel-embel yang untuk
mendapatkannya itu pasti nggak bisa dibilang mudah. Rasanya perjuangan
bertahun-tahun terbayar saat hari wisuda, tawa dan senyum jelas terlihat saat seseorang
diwisuda. Namun apa sih makna wisuda sebenarnya? Wisuda adalah suatu
proses pelantikan kelulusan mahasiswa yang telah menempuh masa belajar pada suatu
universitas. Pada wisuda biasanya memakai pakaian yang ditentukan, pakaian pria
menggunakan hem putih dan celana hitam bersepatu hitam, pakaian wanita menggunakan
kebaya tradisional tipis dengan kain jarik, tapi secara umum menggunakan baju toga (Wikipedia.org).
Wisuda merupakan catatan sejarah pribadi dan pembuktian keemampuan diri
seseorang.
Jika ditelisik lebih jauh, kenapa
sih saat wisuda tali toga diletakkan di kepala sebelah kiri dan oleh rektor
dipindah ke kepala bagian kanan? Tali toga di sebelah kiri mempunyai arti bahwa
selama menjadi mahasiswa bagian otak yang banyak dipakai adalah otak kiri.
Dengan dipindahnya tali toga ke sebelah kanan ini mempunya arti agar setelah
lulus para wisudawan tidak hanya menggunakan otak kirinya namun juga lebih
memanfaatkan otak kanan dalam. Filosofi lainnya, tali toga melambangkan pita
pembatas buku. Dengan memindahkan tali, diharapkan para wisudawan terus membuka
buku supaya ilmunya berkembang. Toga adalah simbol yang menyatakan bahwa
mahasiswa telah lulus dan siap menerapkan ilmunya dalam masyarakat.
Selamat kepada kakak-kakak,
teman, sahabat dan saudara-saudara yang akan wisuda. Selamat menikmati hari
kemenangan sebagai mahasiswa. Namun jangan lupa pula istimewakan tanggung jawab
sebagai sarjana untuk membangun Indonesia tercinta ini. Seperti apa seseorang
dikenang bukan tergantung dari apa yang orang itu lakukan saat wisuda, namun
apa yang dilakukan orang tersebut setelah wisuda. Sekali lagi selamat untuk
semuanya, selamat menerapkan ilmunya dalam masyarakat. (Elina)
Selasa, 26 Agustus 2014
Teruntuk Kalian Para Sahabat
Saat ini,
Aku tak tahu apa yang terlintas di pikiranku
Aku tak tahu apa yang harus ku tulis
Aku tak tahu tentang semua ini
Tapi, kurasa tentang perasaan ini
Ya,
Aku rasa, aku menyadarinya
Ini tentang perasaan
Perasaan yang tak pernah
padam
Perasaan yang tak lekang
oleh waktu
Perasaan yang tak diikat
oleh ruang
Tembok yang berdiri kokoh di sana?
Pagar besi yang kuat itu?
Akankah kita sekuat itu?
Tidak,mereka adalah penghalang!!!
Kita lebih kuat, jauh lebih kuat
Kita yang akan merobohkan penghalang itu
Percayakah kalian kita sekuat itu?
Percayakah kalian akan ocehan ini?
Air yang terus mengalir?
Akar yang selalu mencari sumber air?
Akankah kita sekekal itu?
Semuanya itu seakan tak mungkin
Manusia hanya makhluk kelas rendah
Makhluk yang pandai berangan-angan
Tapi, tak inginkah kita patahkan teori itu?
Aku ingin mematahkannya
Bahkan lebih dari itu
Aku ingin meremukkan dari ujung ke ujung
Aku ingin mencabut akar ocehan teori-teori tenteng kita
Namun, apa dayaku?
Aku tak bisa melakukannya
sendiri
Aku perlu lebih dari
sekam
Untuk membuat api itu
tetap menyala
Aku butuh lebih dari emas
Aku butuh perkara yang lebih mahal dari permata
Untuk membuatnya tetap
bersinar
Dan yang lebih dari semua
itu adalah kalian
Ya itu adalah kalian
sahabat
Kekeluargaan yang kekal
di tubuh planet ini
Itu yang akan mematahkan
toeri makhluk kelas rendah
We are family
Yerterday, now, tomorrow
and forever
By:
Yulin Elina
8/6/2013.
00:02
Senin, 25 Agustus 2014
Cerpen - Pahlawanku Masih Dijajah
Nama: Yulin Elina
NIM: H1E012019
Fakultas/Jurusan/Program Studi:
Fakultas Sains dan Teknik/MIPA/Fisika
Pahlawanku
Masih Dijajah
Hari semakin terik, panas matahari
semakin terasa, keringat mulai bercucuran. Sebagian wajah tampak bosan dan
menggerutu. Dari anak SD, SMP dan SMA terlihat bebagai macam lukisan wajah yang
tak tahu apa artinya ini. Namun ada juga yang tetap terlihat asyik menunggu
upacara kemerdekaan dimulai. Iya, mereka yang tetap berseri-seri walaupun
kepanasan ditengah lapangan karena ada sang pacar, teman dan sahabat yang ada
di dekat mereka. Berbagai wajah memperlihatkan kelelahannya. Entah berapa botol
air mineral yang mereka habiskan sambil menunggu upacaranya dimulai. Bahkan ada
beberapa sekolah yang memang sengaja menyediakan beberapa kardus minuman untuk
siswanya. Terlihat ekstrim memang saat melihat beberapa anak laki-laki
menuangkan air minum pada kepalanya, mencuci mukanya dan
mengibas-ngibaskaannya. Sepertinya mereka benar-benar kepanasan atau memang
mereka anak-anak yang mencari perhatian dan membutuhkan perhatian teman dan
guru mereka? Entahlah, bahkan sejak upacara belum dimulai sampah berupa kardus
dan botol-botol bekas sudah berserakan di mana-mana.
Wiu…wiu…wiu…wiu...wiu...wiu...wiu...wiu...wiu...wiu...wiu..wiu…wiu…
Terdengar tiga sirine yang dinyalakan sahut menyahut. Terasa menegangkan dan semua peserta upacara hening sejenak. Agaknya para peserta upacara yang dari awal tak mengikuti jalannya upacara secara serius baru sadar bahwa sedari tadi mereka mengikuti upacara kemerdekaan tapi mereka asyik dengan obrolan dan dirinya sendiri.
Terdengar tiga sirine yang dinyalakan sahut menyahut. Terasa menegangkan dan semua peserta upacara hening sejenak. Agaknya para peserta upacara yang dari awal tak mengikuti jalannya upacara secara serius baru sadar bahwa sedari tadi mereka mengikuti upacara kemerdekaan tapi mereka asyik dengan obrolan dan dirinya sendiri.
PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia, dengan ini
menyatakan kemerdekaan Indonesia, hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan, dll
diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Djakarta,
hari 17, boelan 8, tahun 45
Atas nama bangsa Indonesia
Soekarno-Hatta
Atas nama bangsa Indonesia
Soekarno-Hatta
Semua peserta upacara terlihat khusyuk
saat mendengar Pak Camat membacakan teks proklamasi. Namun tiba-tiba seorang
pemulung tua yang sedari tadi mengais sampah di belakang barisan anak SMA
berjalan ke lapangan bagian samping dan ikut menjadi peserta upacara di samping
barisan para guru. Wajahnya berseri ketika mendengar teks proklamasi
dibacakan. Terlebih saat dia melihat
sang saka merah putih berkibar di ujung tiang tertinggi. Seulas senyum
tersungging di wajah tuanya. Hampir semua mata tertuju padanya, suasana
mendadak menjadi angat riuh. Ada yang merasa terharu, ada juga yang tertawa dan
mengganggap itu sebuah sebuah lelucon. Tak lama kemudian dua orang petugas
keamanan datang, yang seorang menggandeng pak pemulung tua itu keluar lapangan
upacara lalu membawanya ke kantor polisi yang berada di samping lapangan
upacara. Petugas yang satunya lagi membawakan hasil sampah yang diais sang
pemlung karena sang pemulung tadi tak sempat membawanya dan terburu-buru
digandeng dengan cepat oleh petugas yang pertama. Upacara berlanjut, masih ada
sedikit suara riuh yang membicarakan sang pemulung tadi. Namun semua cerita itu
berlalu saat komandan kompi membubarkan barisannya masing-masing. Upacara 17
Agustus memperingati hari kemerdekaan bangsa Indonesia telah selesai. Semua
peserta upacara berhamburan menuju tempat teduh. Ada yang langsung ke parkiran
mengambil motor lalu pulang, membeli minuman dan makanan, bercengkerama dengan
teman, dan lain-lain. Terlihat juga segerombolan anak SMA yang terlihat enggan
untuk pulang. Mereka duduk berjajar di depan kantor polisi, agaknya mereka
sedang menunggu teman mereka.
“Ris, aku males pergi ke pantai. Aku
pulang duluan aja ya?”
“Kenapa Brend? Tumben banget?”
“Gak kenapa-kenapa, lagi males aja tadi
juga lupa belum izin sama mama Ris,”
“Yah..., jadi gak seru dong kalau ada
anggota kita yang gak ikut, pasti Clara juga gak ikut kalau Brenda gak ikut”
sahut Risty dengan nada kecewa.
“Hahha santai aja Risty, besok-besok
kalau aku udah izin sama mama pasti ikut deh,”
“Gimana Ra? Gue mau pulang nih. Kamu bareng aku nggak pulangnya?” Tanya Brenda.
“Gimana Ra? Gue mau pulang nih. Kamu bareng aku nggak pulangnya?” Tanya Brenda.
“Iya deh, gue ngikut kamu aja Brend.
Daripada nanti gue pulang sendirian.”
Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk
pulang sementara teman-temannya yang lain pergi ke pantai.
Mereka menuju tempat parkir motor di
samping kantor polisi, tapi mereka malah tertarik pada sesuatu. Mereka semakin
mendekat berusaha melihat dan mendengarkannya.
“Ternyata pemulung tadi Brend,”
Terdengar sang polisi sedang mengintrogasi
sang pemulung, sesekali nadanya terdengar kasar dan meninggi.
“Ya, Anda boleh keluar dari sini. Lain
kali jangan diulangi ya pak,”
Terdengar suara pak polisi mulai melembut.
“Duh…lega rasanya. Kirain tuh polisi mau
marah-marah sama bapaknya lagi,”
Sang pemulung keluar dengan tergopoh-gopoh
membawa hasil sampah aisannya tadi. Sejenak dia berhenti dan bergegas lari
menuju lapangan upacara tadi. Di sana terlihat sudah ada dua pemulung lain yang
juga sedang menjemput rezekinya. Pak pemulung tua juga akhirnya ikut serta
bergabung dengan mereka. Mereka bertiga terlihat bersemangat dan sesekali
tersungging senyum di bibir mereka. Tapi tak lama kemudian pemulung tua tadi
menuju ke sebuah sepeda onthel tua.
“Oh...ternyata itu sepeda miliknya,”
gumam Brenda dan Risty.
Sang pemulung tua tadi mengikat hasil
aisannya di sepeda tersebut. Mungkin dia akan pulang. Tapi ternyata tidak, dia
meninggalkan sepedanya dan disandarkannya pada tembok. Brenda dan Clara agaknya
penasaran dengan sang pemulung itu dan mereka memutuskan untuk mengikuti sang
pemulung tadi. Sang pemulung mengambil beberapa bendera kecil yang tergeletak
di lapangan. Bendera merah putih dari kertas yang kurang lebih berukuran 15 x 8
cm. Dia memungut bendera-bendera kecil itu dan membersihkannya dari debu akibat
injakan orang-orang yang upacara tadi. Dia kembali lagi menuju sepeda tua itu,
menaikinya dan dikayuhnya sekuat tenaga. Suasana di jalan masih cukup ramai, cukup
menghambat laju sepeda sang pemulung tua tadi sehingga mereka berdua masih bisa
mengawasi dan mengikuti pemulung tadi walaupun mereka harus mengambil motor di
parkiran dulu. Motor mereka bergerak sangat lambat mengikuti laju sepeda onthel sang pemulung tersebut. Speedometer menunjuk pada angka 10-20
km/jam. Bahkan kadang mereka sengaja berhenti saat jaraknya sudah terlalu dekat
dengan pemulung tadi. Cukup lama menunggu sang pemulung berhenti mengayuh
sepedanya. Butuh waktu satu jam dari lapangan tadi. Dan pasti banyak energi
yang harus dikeluarkan dari tubuh yang sudah tua itu.
“Mungkin itu rumahnya Brend,”
“Iya mungkin. Eh, siapa tuh? Isterinya
mungkin ya?,”
“Tumben jam segini sudah pulang?” seru wanita
tua itu sambil menjabat tangan sang pemulung.
“Iya buk, ini kan hari kemerdekaan.
Simbah juga pengen merayakan hari kemerdekaan. Seperti waktu dulu, waktu masih
zaman perjuangan,”
“Simbah ini aneh-aneh saja, yang dulu
sudah beda dengan zaman sekarang mbah. Kita sudah merdeka dan sudah pernah
berjuang untuk mendapat kemerdekaan ini. Yang penting sekarang itu bagaimana
caranya kita bisa hidup dan makan setiap hari mbah,”
Sang pemulung tadi tak peduli dengan
ocehan isterinya yang protes karena sang suami tidak mau bekerja karena hari
itu hari kemerdekaan. Sang pemulung tua tadi sengaja memilih memulung di
lapangan kecamatan agar bisa ikut upacara. Walaupun sang pemulung akhirnya
diamankan oleh petugas dan diinterogasi di kantor polisi karena keinginannya mengikuti
upacara itu. Namun tak terlihat ada penyesalan di sana. Sang pemulung mengambil
bendera-bendera kertas yang tadi diambilnya di lapanagan dan ditancapkannya ke
tembok bambu rumahnya. Sang pemulung bergegas menuju bendera merah putih yang
telah dipasangnya beberapa hati yang lalu di depan rumahnya. Tak
tanggung-tanggung badannya tegap dan posisi badan siap, memberi hormat dengan
senyuman bangga pada sang saka merah putih. Perlahan terdengar lantunan
lamat-lamat, semakin lama semakin jelas. Ya, sang pemulung ternyata sedang
menyanyikan lagu ciptaan W.R. Soepratman yang berjudul Indonesia Raya. Terlihat
air mata yang jatuh pada pipi yang berkeriput mengiringi lagu kebangsaan
Indonesia itu. Sungguh, dia benar-benar meneteskan air mata. Sang isteri
mengamatinya dari dalam rumah, dan sesaat kemudian menyusul suaminya keluar dan
dia juga ikut memberikan hormat pada sang merah putih. Ada seulas senyum dalam
air mata yang mengalir. Entah senyum haru, kecewa, atau apa tak ada yang tahu.
Hanya mereka yang tahu. Brenda dan Clara menjadi saksi kecintaan para pejuang
terhadap bangsanya.
“Penjajahan oleh Inggris, Belanda dan
Jepang telah berlalu Indonesiaku. Sekarang koruptor, otak pintar nan licik,
kemiskinan sedang menjajahmu, menjajah sebagian rakyatmu Indonesiaku.”
Indonesia
raya merdeka merdeka
Tanahku
negeriku yang ku cinta
Indonesia
raya merdeka merdeka
Hiduplah
Indonesia raya
Langganan:
Postingan (Atom)